Tahun
ini aku menghadapi dilema yang luar biasa kuat. Sebahagian diriku tengah
berbahagia sekali. Di bagian lain menyimpan rasa tidak ingin pergi. Yang ku
ingat hanya orangtua ku, dan adik kesayanganku. Tepatnya di usia ku yang
menginjak umur delapanbelas tahun ini, aku disuguhkan dengan berita baik. Nama
ku tertera di daftar siswa yang lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri di Malang,
dengan jalur rapot. Sehingga tidak perlu aku bersusah payah mengikuti tes lagi.
Orang meyebutnya sebagai kampus terfavorit sepuluh besar. Disitu tertera nama
ku Baskara Pati. Prodi Hukum s1. Lulus/diterima. Segera ku memberi tahu mama
ku.
“Ma, Baska punya berita baik hari
ini.” Suguh ku gembira.
“Apa itu anak ku. Senang sekali
nampaknya anak mama”. Kata mama ku manis sekali.
“Ma, Baska diterima PTN di Malang
sana. Sesuai dengan jurusan yang Baska pilih.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Mama
senang mendengarnya sayang. Kalau begitu sebentar lagi anak mama menjadi anak
rantau. Jauh dengan mama disini.” Jawab mama ku datar.
“Ma, Baska bingung. Apa Baska tolak
saja ya ma. Baska ikut seleksi menggunakan jalur tertulis. Supaya Baska bisa
memilih Kampus yang tidak jauh dari rumah.”
“Tidak usah repot nak. Itu sudah
terbaik untuk mu. Jangan buang kesempatan itu nak. Jadilah anak mama yang
mandiri disana. Belajar hidup sendiri ya nak. Tidak apa sudah nak. Cepat
beritahu ayah mu segera.” Kata mama dengan ke-ibuan nya.
Saat itu, sudah ku siapkan
perbekalan ku. Mengurusi administrasi sebagai tanda Legal bahwa aku memang
diterima di kampus itu. Segalanya sudah hampir siap. Hanya mungkin sifat manja
ku yang belum siap untuk jauh dari mama.
Mama menyiapkan koper dengan
berbagai macam isian. Mengemasi buku-buku dengan berbagai keperluan lain yang
ku butuhkan. Mama memang selalu mengerti aku. Mama dan aku mencari kos yang
dekat dengan kampus yang akan ku singgahi di Malang sana, Jawa Timur. Yang
sangat jauh menurut ku dari rumah. Memakan waktu hingga berbelas jam jika
kesana menggunakan kereta. Aku pun lakukan berpergian dengan kereta. Dengan
mama tentunya. Sesampainya disana, kami beristirahat dahulu disebuah penginapan
kecil mirip motel ala orang-orang Malang khas dengan ke-Jawa Timuran nya.
Memesan kamar untuk dua orang. Kami bersiap untuk melepas penat di motel itu
untuk semalam saja. Ku rasakan pengalaman baru. Menjadi dewasa sebagai seorang
Baskara yang jauh dari rumah. Harus ku lakukan!. Tidak boleh bermanja lagi
dengan mama. Itu jatah adik ku. Aku sudah dewasa dan harus menjadi pribadi yang
baik dan tidak melulu di manjakan mama.
Ku rasakan sekali lagi tangan mama.
Saat itu ku pinta mama menemani ku tidur untuk yang terakhir kalinya. Karena
jelas, aku sudah tidak akan kerumah lagi dalam kurun waktu yang lama tentunya.
Aku mengakui aku sering minta ditemani tidur dengan mama. Aku memang anak
manja. Manja hanya kepada mama ku seorang. Berbeda halnya ketika aku sudah
berhadapan dengan ayah. Memang, ayah ku tidak garang maupun galak. Hanya saja,
ayah ku seorang yang tegas. Aku menjadi demikian dengan ayahku sebagai Baskara
yang gentle dan berperawakan lelaki
yang menuju ke-kedewasaannya. Sebagai teman juga dan sebagai anak.
“Ma, nanti sering-sering datang
kesini ya ma. Sering jenguk aku ma.” Pinta ku melas.
“Yaampun Baska. Kamu masih saja
seperti anak kecil yang merengek meminta es krim di pinggiran jalan. Dasar
kamu.” Jawab mama ku bercanda, ssambil mengelus-elus kepala ku.
“Sayang. Kamu sudah besar bukan?.
Lihat itu di atas bibir mu, dibawah hidungmu. Diantara keduanya, sudah
ditumbuhi kumis tipis. Kamu ganteng sekali Baska. Tidak pantas kamu bermanja
lagi dengan mama.” Kata mama tersenyum kecil.
“Iya ma, tahu aku. Hanya saja aku
tidak mau mama melupakan anak lelaki satu-satunya mama ini. Karena mama tidak
menjenguk ku lagi barang kali.”
”Hust, kamu. Tidak akan Baska.
Bagaimana bisa seorang mama melupakan anak ganteng nya ini. Yang mama simpan di
perut selama sembilan bulan lamanya. Yang mama timang dan susui dengan ASI mama sendiri. Yang hidup
selama delapan belas tahun lamanya di pangkuan mama. Tidak akan mungkin Baska.
Kamu ada-ada saja ya.”
Selama perbincangan itu, aku banyak
terdiam. Mama banyak berbicara. Sedikit lagi aku tertidur. Benar saja. Setelah
mama menceritkan entah apa itu, aku mulai memejamkan mata. Tidak kuat
mendengarkan suara yang amat teduh dari perempuan yang ku sayangi ini.
Selama aku hidup, belum pernah aku
mendengar kata-kata mama memarahi aku, adik ku ataupun ayahku sekalipun. Ku
rasakan mama memang benar seorang malaikat yang Tuhan kirim kepada keluarga ku.
Pernah suatu ketika. Mama dengan Ayah berbincang. Hingga di perbincangan itu, mereka nampaknya mendapati
kekeliruan. Entah apa yang dibahasnya. Urusan orang dewasa. Aku tidak berhak
mencampurinya. Saat itu aku duabelas. Bocah ingusan yang tidak tahu menahu
perihal dunia orangtua. Hingga ku melihat mama nampaknya hanya terdiam di dalam
perbincangan itu. Nampak pula ayah yang demikian. Mereka diam saja selang
beberapa menit. Mama ku mengelus Ayah dengan lembutnya dan berkata.
“Mas, maafkan aku. Tidak seharusnya
aku begitu. Mohon maafkan aku mas.”
Mereka berpelukan hangat layaknya
tidak terjadi sesuatu yang berarti. Nampaknya marah mereka bukan dengan
kata-kata kasar atau makian. Melainkan dengan diam tanpa kata. Hanya diam.
Sebelum ayam berkokok, Mama mengetuk
pintu kamar motel ku.
“Bas, bangun sayang. Ayo bagun.
Sudah pagi. “
Ku buka-kan pintu.
“Bas, mama sudah dapatkan tempat
untuk mu kos dekat kampus. Nanti kita kesana ya nak.”
“Iya Ma.”
“Yowes, Bas, mandi sana nanti bawa
koper mu langsung ke tempat kos ya, cepat”.
plughh... novel pun tertutup.
"sial, ternyata si Baska lagi menceritakan kisah hidup gue yang gagal, dan keberhasilannya ada di peran dia di novel ini" kata Hadid terheran-heran.
"Dulu gw pengen banget kuliah di UB jurusan hukum kan, astaga, plot twist apa ini" kemudian lanjutnya "ya, cuma bedanya disini Baska itu anak cowo, beda gender lah ya sama gue" lanjutnya berbicara sendiri.
Dan sampai hari ini novel itu tidak tamat di baca.
***
Terimakasih yang udah baca, have a nice day y'all
HAHAHA
BalasHapus